Rabu, 10 Maret 2010

OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS

I. Pendahuluan:
History adalah mengenai masa lampau manusia. Manusia adalah Homo Historicos atau makhluk sejarah. Selain sebagai subyek sejarah, manusia juga sebagai obyek sejarah. Peristiwa sejarah sangat unik. Keunikannya adalah, peristiwa sejarah itu hanya sekali terjadi. Sejarah sebagai peristiwa bersifat obyektif. Sementara itu sejarah sebagai konstruk atau kisah bersifat subyektif dan hanya sekali terjadi. Oleh karena itu untuk mengetahui atau mengungkapkan peristiwa sejarah perlu adanya rekonstruksi sejarah. Dengan sumber-sumber yang telah ada dan bukti-bukti sejarah hasil peninggalan masa lampau.
Namun demikian, masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali. Ini dikarenakan sifat manusiawi manusia yaitu lupa dan ingin melupakan. Selain itu juga sudah banyaknya sumber yang hilang. Untuk itu diperlukannya peran sejarawan untuk mengolah fakta yang ada dan berusaha untuk mengisi celah kosong sejarah yang tleh hilang.

II. Objektivitas dan Subyektivitas:
Upaya sejarawan dalam merekonstruksi masa lalu mulai mendapatkan kendala ketika sumber penelitian yang didapat tidak dapat menjelaskan secara penuh suatu peristiwa yang pernah terjadi. Ini adalah tugas sejarawan untuk dapat melengkapi dengan penafsiran mengenai kejadian-kejadian yang hilang tersebut. Meskipun demikiam juga harus tetap berusaha menulis dengan sebenar-benarnya (obyektif). Penafsiran sejarawan (subyektif) tetap sangat diperlukan.
Subyektivitas adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil parasaan atau pikiran manusia. Sementara itu obyektivitas adalah usaha mendekatkan diri pada obyek atau dengan kata lain berarti bertanggung jawab pada kebenaran obyek. Seorang sejarawan dalam merekonstruksi sejarah, harus mendekati obyektivitas, karena akan didapat gambaran rekonstruksi yang mendekati kebenaran.
Dalam merekonstruksi masa lalu suatu peristiwa sejarah diperlukan bukti-bukti sejarah atau lebih tepatnya fakta sejarah. Fakta atau peninggalan sejarah itu disebut obyek, baik yang bersifat artifak maupun yang berujud dokumen tertulis. Dalam suatu peninggalan sejarah, seorang sejarawan menggunakan analisis dan penafsirannya. Di sinilah akan muncul subyektivitas dalam penulisan sejarah. Dia berusaha untuk bersifat interpretative (yang menerangkan mengapa dan bagaimana peristiwa terjadi dan saling berhubungan) maupun bersikap diskriptif (yakni menceritakan apa, bilamana, dimana terjadi dan siapa yang ikut serta didalamnya). Sehingga dalam penulisannya lebih bermakna.
Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah tidaklah akan untuk sebagaimana peristiwa itu terjadi dimasa lampau. Hal ini disebabkan karena banyaknya hal atau rangkaian peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Karena alasan itu juga, penafsiran dari seorang sejarawan sangat diperlukan untuk menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sehingga mendekati kebenaran. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan atau perekonstruksian peristiwa sejarah itu tidak dapat lepas dari unsur subyektivitas. Karena dalam penulisan sejarah itu tidak dapat obyektif seratus persen. Dalam penulisan sejarah, seseorang tidak dapat melepaskan subjektifitasnya. Salah satu unsur subjektifitas yang paling dominan dan sulit dielakkan adalah pengaruh dari zamannya (zeitgeist). Setiap sejarawan memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap peninggalan-peninggalan sejarah dan kesaksian dari pelaku sejarah.
Dimisalkan saja, suatu peristiwa sejarah seperti sebuah gelas kaca yang masih utuh dan bagus. Ketika gelas itu jatuh kelantai maka pecah berkeping-keping. Anggap kepingan-kepingan gelas tersebut sama dengan kepingan-kepingan peristiwa sejarah. Tugas sejarawanlah untukmengumpulkan kepingan-kepingan peristiwa sejarah yang hilang tersasebut. Setelah kepingan-kepingan pecahan gelas tersebut terkumpul dan kemudian disusun, pasti ada bagian dari pecagan gelas tersebut yang hilang. Ini juga sama dengan peristiwa sejarah yang kehilangan pecahan-pecahan peristiwa. Sehingga diperlukan analisis dari seorang sejarawan untuk mengisi kekosongan peristiwa tersebut untuk menghubungkan peristiwa sejarah yang satu dengan yang lain sehingga utuh dan mendekati kebenaran (obyektif).
Penulisan sejarah dengan memakai unsur subyektivitas itu lebih memberi warna pada perekonstruksian peristiwa sejarah, karena dapat menguak lebih dalam peristiwa yang telah terjadi. Sungguhpun demikian, sejarawan selalu dituntut supaya dengan sadar dan jujur mengikatkan diri pada obyek dan berfikir secara obyektif. Seorang sejarawan dalam penulisan atau rekonstruksi suatu peristiwa sejarah diharapkan untuk tidak memihak. Kendati tidak memihak, sejarawan tetap tidak bisa objektif secara total. Ini sekali lagi diakibatkan keterbatasan sumber yang ditemukan dan adanya benda-benda diam yang hanya bisa diamati saja. Sehingga memerlukan analisa sejarawan melalui pemikirannya. Tafsiran dan analisis disusun se-obyektif mungkin. Nilai karya sejarawan antara lain akan tergantung pada nilai obyektivitasnya. Suatu karya sejarah akan jauh nilainya apabila sejarawan dengan sengaja tidak obyektif.
Pemberian penafsiran dari seorang sejarawan dilakukan ketika sumber tidak lengkap. Keuntungan dari pemberian penafsiran tersebut antara lain:
1. mengisi peristiwa yang kosong
2. menghubungkan peristiwa sejarah dari fakta satu dengan fakta yang lain
3. memberi isi pada suatiu peristiwa sejarah.
Arti sederhana dari kata objektifitas dalam sejarah objektif adalah sejarah dalam aktualitas, jadi kejadian itu terlepas dari subjek. Sejarah dalam arti subjek dalam proses komunikasi antar individu timbul suatu penyampaian suatu sejarah (dalam arti subjektif) kepada orang ke-2. dapat dikatakan bahwa sejarah atau fakta yang dikomunikasikan menjadi intersubjektif. Komunikasi secara lebih luas mengakibatkan fakta semakin intersubjektif maksudnya semakin dimiliki oleh banyak subjek. Akhirnya pada suatu waktu, fakta menjadi intersubjektif di kalangan yang sangat luas, menjadi umum sekali atau dengan istilah tepat menjadi fakta keras. Untuk lebih jelas perhatikan skema di bawah ini:

I. fakta dikomunikasikan

Komunikasi II
II. fakta menjadi Intersubjektif
Individu A Individu B

Apabila suatu fakta secara intersubjektif telah diterima sebagai kebenaran, maka bagi yang menerima fakta itu dapat dikeluarkan dari subjek secara individu diobjektifitaskan menjadi suatu objek. Dengan demikian fakta tersebut dapat diterima oleh kelompok yang bersangkutan sebagai objek. Dalam pemakaian istilah subjektifitas ini masih terselip sifat relatif dan jelaslah objektifitas yang absolutmerupakan konsep yang ideal dalam ilmu kemanusiaan. Untuk menghindari kesepihakan perlu dilakukan pendekatan multidimensial yaitu melihat dari berbagai aspek kehidupan.
III. Kesimpulan:
Dalam penulisan sejarah tidak bisa lepas dari unsure subyektivitas. Hal ini dikarenakan dalam merekonstruksi masa lampau diperlukan analisis dan imajinasi sejarawan untuk mengisi kekosongan peristiwa sejarah dan menghubungkan peristiwa satu dengan peristiwa yang lain. Ini dikarenakan sumber-sumber yang ditemukan tidak lengkap dan sangat terbatas.
Objektifitas dalam sejarah objektif adalah sejarah dalam aktualitas, jadi kejadian itu terlepas dari subjek. Sejarah yang subjektif apabila dikomunikasikan kepada orang lain dan kemudian diterima maka sejarah itu menjadi intersubjektif. Dan dalam kominikasi selanjutnya, lama kelamaan peristiwa sejarah tersebut akan menjadi objektif dikalangan kelompok yang berkomunikasi tersebut. jadi objektifitas sejarah itu terjadi bila mendapat pengakuan dari banyak orang. Sejarah yang subjektif akan menjadi objektif jika mendapat pengakuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar