Rabu, 10 Maret 2010

OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS

I. Pendahuluan:
History adalah mengenai masa lampau manusia. Manusia adalah Homo Historicos atau makhluk sejarah. Selain sebagai subyek sejarah, manusia juga sebagai obyek sejarah. Peristiwa sejarah sangat unik. Keunikannya adalah, peristiwa sejarah itu hanya sekali terjadi. Sejarah sebagai peristiwa bersifat obyektif. Sementara itu sejarah sebagai konstruk atau kisah bersifat subyektif dan hanya sekali terjadi. Oleh karena itu untuk mengetahui atau mengungkapkan peristiwa sejarah perlu adanya rekonstruksi sejarah. Dengan sumber-sumber yang telah ada dan bukti-bukti sejarah hasil peninggalan masa lampau.
Namun demikian, masa lampau manusia untuk sebagian besar tidak dapat ditampilkan kembali. Ini dikarenakan sifat manusiawi manusia yaitu lupa dan ingin melupakan. Selain itu juga sudah banyaknya sumber yang hilang. Untuk itu diperlukannya peran sejarawan untuk mengolah fakta yang ada dan berusaha untuk mengisi celah kosong sejarah yang tleh hilang.

II. Objektivitas dan Subyektivitas:
Upaya sejarawan dalam merekonstruksi masa lalu mulai mendapatkan kendala ketika sumber penelitian yang didapat tidak dapat menjelaskan secara penuh suatu peristiwa yang pernah terjadi. Ini adalah tugas sejarawan untuk dapat melengkapi dengan penafsiran mengenai kejadian-kejadian yang hilang tersebut. Meskipun demikiam juga harus tetap berusaha menulis dengan sebenar-benarnya (obyektif). Penafsiran sejarawan (subyektif) tetap sangat diperlukan.
Subyektivitas adalah kesaksian atau tafsiran yang merupakan gambaran hasil parasaan atau pikiran manusia. Sementara itu obyektivitas adalah usaha mendekatkan diri pada obyek atau dengan kata lain berarti bertanggung jawab pada kebenaran obyek. Seorang sejarawan dalam merekonstruksi sejarah, harus mendekati obyektivitas, karena akan didapat gambaran rekonstruksi yang mendekati kebenaran.
Dalam merekonstruksi masa lalu suatu peristiwa sejarah diperlukan bukti-bukti sejarah atau lebih tepatnya fakta sejarah. Fakta atau peninggalan sejarah itu disebut obyek, baik yang bersifat artifak maupun yang berujud dokumen tertulis. Dalam suatu peninggalan sejarah, seorang sejarawan menggunakan analisis dan penafsirannya. Di sinilah akan muncul subyektivitas dalam penulisan sejarah. Dia berusaha untuk bersifat interpretative (yang menerangkan mengapa dan bagaimana peristiwa terjadi dan saling berhubungan) maupun bersikap diskriptif (yakni menceritakan apa, bilamana, dimana terjadi dan siapa yang ikut serta didalamnya). Sehingga dalam penulisannya lebih bermakna.
Dalam merekonstruksi suatu peristiwa sejarah tidaklah akan untuk sebagaimana peristiwa itu terjadi dimasa lampau. Hal ini disebabkan karena banyaknya hal atau rangkaian peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Karena alasan itu juga, penafsiran dari seorang sejarawan sangat diperlukan untuk menghubungkan suatu peristiwa dengan peristiwa yang lain. Sehingga mendekati kebenaran. Dari sini dapat dilihat bahwa suatu penulisan atau perekonstruksian peristiwa sejarah itu tidak dapat lepas dari unsur subyektivitas. Karena dalam penulisan sejarah itu tidak dapat obyektif seratus persen. Dalam penulisan sejarah, seseorang tidak dapat melepaskan subjektifitasnya. Salah satu unsur subjektifitas yang paling dominan dan sulit dielakkan adalah pengaruh dari zamannya (zeitgeist). Setiap sejarawan memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap peninggalan-peninggalan sejarah dan kesaksian dari pelaku sejarah.
Dimisalkan saja, suatu peristiwa sejarah seperti sebuah gelas kaca yang masih utuh dan bagus. Ketika gelas itu jatuh kelantai maka pecah berkeping-keping. Anggap kepingan-kepingan gelas tersebut sama dengan kepingan-kepingan peristiwa sejarah. Tugas sejarawanlah untukmengumpulkan kepingan-kepingan peristiwa sejarah yang hilang tersasebut. Setelah kepingan-kepingan pecahan gelas tersebut terkumpul dan kemudian disusun, pasti ada bagian dari pecagan gelas tersebut yang hilang. Ini juga sama dengan peristiwa sejarah yang kehilangan pecahan-pecahan peristiwa. Sehingga diperlukan analisis dari seorang sejarawan untuk mengisi kekosongan peristiwa tersebut untuk menghubungkan peristiwa sejarah yang satu dengan yang lain sehingga utuh dan mendekati kebenaran (obyektif).
Penulisan sejarah dengan memakai unsur subyektivitas itu lebih memberi warna pada perekonstruksian peristiwa sejarah, karena dapat menguak lebih dalam peristiwa yang telah terjadi. Sungguhpun demikian, sejarawan selalu dituntut supaya dengan sadar dan jujur mengikatkan diri pada obyek dan berfikir secara obyektif. Seorang sejarawan dalam penulisan atau rekonstruksi suatu peristiwa sejarah diharapkan untuk tidak memihak. Kendati tidak memihak, sejarawan tetap tidak bisa objektif secara total. Ini sekali lagi diakibatkan keterbatasan sumber yang ditemukan dan adanya benda-benda diam yang hanya bisa diamati saja. Sehingga memerlukan analisa sejarawan melalui pemikirannya. Tafsiran dan analisis disusun se-obyektif mungkin. Nilai karya sejarawan antara lain akan tergantung pada nilai obyektivitasnya. Suatu karya sejarah akan jauh nilainya apabila sejarawan dengan sengaja tidak obyektif.
Pemberian penafsiran dari seorang sejarawan dilakukan ketika sumber tidak lengkap. Keuntungan dari pemberian penafsiran tersebut antara lain:
1. mengisi peristiwa yang kosong
2. menghubungkan peristiwa sejarah dari fakta satu dengan fakta yang lain
3. memberi isi pada suatiu peristiwa sejarah.
Arti sederhana dari kata objektifitas dalam sejarah objektif adalah sejarah dalam aktualitas, jadi kejadian itu terlepas dari subjek. Sejarah dalam arti subjek dalam proses komunikasi antar individu timbul suatu penyampaian suatu sejarah (dalam arti subjektif) kepada orang ke-2. dapat dikatakan bahwa sejarah atau fakta yang dikomunikasikan menjadi intersubjektif. Komunikasi secara lebih luas mengakibatkan fakta semakin intersubjektif maksudnya semakin dimiliki oleh banyak subjek. Akhirnya pada suatu waktu, fakta menjadi intersubjektif di kalangan yang sangat luas, menjadi umum sekali atau dengan istilah tepat menjadi fakta keras. Untuk lebih jelas perhatikan skema di bawah ini:

I. fakta dikomunikasikan

Komunikasi II
II. fakta menjadi Intersubjektif
Individu A Individu B

Apabila suatu fakta secara intersubjektif telah diterima sebagai kebenaran, maka bagi yang menerima fakta itu dapat dikeluarkan dari subjek secara individu diobjektifitaskan menjadi suatu objek. Dengan demikian fakta tersebut dapat diterima oleh kelompok yang bersangkutan sebagai objek. Dalam pemakaian istilah subjektifitas ini masih terselip sifat relatif dan jelaslah objektifitas yang absolutmerupakan konsep yang ideal dalam ilmu kemanusiaan. Untuk menghindari kesepihakan perlu dilakukan pendekatan multidimensial yaitu melihat dari berbagai aspek kehidupan.
III. Kesimpulan:
Dalam penulisan sejarah tidak bisa lepas dari unsure subyektivitas. Hal ini dikarenakan dalam merekonstruksi masa lampau diperlukan analisis dan imajinasi sejarawan untuk mengisi kekosongan peristiwa sejarah dan menghubungkan peristiwa satu dengan peristiwa yang lain. Ini dikarenakan sumber-sumber yang ditemukan tidak lengkap dan sangat terbatas.
Objektifitas dalam sejarah objektif adalah sejarah dalam aktualitas, jadi kejadian itu terlepas dari subjek. Sejarah yang subjektif apabila dikomunikasikan kepada orang lain dan kemudian diterima maka sejarah itu menjadi intersubjektif. Dan dalam kominikasi selanjutnya, lama kelamaan peristiwa sejarah tersebut akan menjadi objektif dikalangan kelompok yang berkomunikasi tersebut. jadi objektifitas sejarah itu terjadi bila mendapat pengakuan dari banyak orang. Sejarah yang subjektif akan menjadi objektif jika mendapat pengakuan.

VOC

A. Berdirinya VOC

Pada abad ke-16 Portugis dan Spanyol menguasai pelayaran ke Asia serta menguasai perdagangan rempah-rempah antara Asia dengan Eropa, khususnya perdagangan lada. Dalam perkembangan selanjutnya di Eropa, Raja Portugal memiliki kekuasaan tunggal atas pengangkutan dan pembelian hasil bumi dari Asia. Semua kontrak jual beli hasil bumi ditentukan harganya oleh Raja Portugal. Orang-orang Belanda yang dikenal sebagai pedagang merasa dirugikan oleh tindakan Portugal tersebut, dan akhirnya berusaha mencari jalan sendiri untuk menghindari monopoli perdagangan Portugal.

Atas inisiatif Staten-Generaal (semacam Dewan Rakyat) pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan perusahaan dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) di Amsterdam, yang kemudian berkembang di berbagai kota lainnya. Para pedagang besar Belanda sebagai pemegang sahamnya. Dalam waktu hanya lima tahun VOC memiliki 15 armada yang terdiri dari 65 kapal yang memulai pelayarannya dari pelabuhan-pelabuhan Rotterdam, Amsterdam, Middelburg, Vlissingen, Veere, Delft, Hoorn dan Enkhuizen[1].

Sebelum terbentuknya VOC, ekspedisi Belanda pertama ke Asia telah melakukan tiga kali pelayaran antara tahun 1594 – 1596 namun mengalami kegagalan. Para pelaut banyak yang jatuh sakit karena keracunan makanan yang sudah membusuk. Kapal pertama Belanda mendarat di Banten tahun 1596, tetapi tidak mendapat rempah-rempah seperti yang diharapkan. Pelayaran selanjutnya ke Maluku (kapal “De Houtman” dan “Van Beuningen”) mengalami kegagalan juga, karena terjadi bentrokan fisik antara awak kapal dengan penduduk setempat sehingga banyak pelautnya yang mati. Pada tahun 1597 tiga dari empat kapal kembali ke Belanda dan dari 249 awak kapal hanya tinggal 90 orang yang masih hidup. Ekspedisi kedua dilakukan pada tahun 1598 dengan 8 buah kapal dibawah komando kapten kapal van Neck dan van Warwijk yang berhasil membawa rempah-rempah dalam jumlah besar dari kepulauan Maluku terutama dari Banda, Ambon dan Ternate[2].

VOC merupakan perusahaan multinasional yang pertama di dunia yang tersebar di banyak negara, dan dalam melaksanakan kegiatan perdagangannya tidak segan-segan melakukan tindakan-tindakan yang tidak beradab, termasuk pembunuhan terhadap penduduk dan memperlakukan penduduk asli sebagai budak tanpa rasa perikemanusiaan khususnya di Indonesia.

Persaingan antara Belanda dan Portugis dalam perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku berakhir ketika Belanda berhasil membangun permukiman tetap dengan mengusir Portugal pada tgl 23 Februari 1605. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa Belanda berhasil menggantikan posisi Portugal mendapatkan sumber hasil bumi dari kepulauan Nusantara. Selama dua abad menguasai bumi Indonesia, VOC telah bertindak dan memerintah dengan menggunakan kekuasaan militer menekan dan mengadu-domba kerajaan-kerajaan setempat, memberlakukan hukumnya sendiri di seluruh Indonesia, memiliki pengadilan sendiri dan melakukan perdagangan monopoli yang sangat merugikan rakyat.

Perusahaan ini mendirikan markasnya di Batavia (sekarang Jakarta) di pulau Jawa. Pos kolonial lainnya juga didirikan di tempat lainnya di Hindia Timur yang kemudian menjadi Indonesia, seperti di kepulauan rempah-rempah (Maluku), yang termasuk Kepulauan Banda di mana VOC manjalankan monopoli atas pala dan fuli. Metode yang digunakan untuk mempertahankan monompoli termasuk kekerasan terhadap populasi lokal, dan juga pemerasan dan pembunuhan massal.

Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614), namun ia memilih Jayakarta sebagai basis administrasi VOC. Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623)[3].

B. Hak istimewa

Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi :

a. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;

b. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk :

Ø memelihara angkatan perang,

Ø memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,

Ø merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Negeri Belanda,

Ø memerintah daerah-daerah tersebut,

Ø menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan

Ø memungut pajak.

C. Kapal-kapal VOC

VOC kapal Amsterdam

VOC kapal Arnhem

VOC kapal Batavia

VOC kapal Duyfken

VOC kapal Eendracht (1615)

VOC kapal Galias

VOC kapal Grooten Broeck

VOC kapal Gulden Zeepaert

VOC kapal Klein Amsterdam

VOC kapal Leeuwerik

VOC kapal Leyden

VOC kapal Pera

VOC kapal Ridderschap van Holland

VOC kapal Sardam

VOC kapal Texel

VOC kapal Utrecht

VOC kapal Vergulde Draeck (Gilt Dragon)

VOC kapal Vianen

VOC kapal Vliegende Swaan

VOC kapal Wapen van Hoorn

VOC kapal Wezel

VOC kapal Zuytdorp

D. Tujuan VOC

Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala[4].

Sementara ilmuwan Belanda maupun Indonesia cukup banyak yang memiliki kesimpulan sama tentang peran VOC di Indonesia pada abad ke 16 dan 17 yaitu tidak terlepas dari politik kolonialisme Belanda, namun di pihak lain sampai sekarang masih cukup banyak pihak-pihak di Belanda yang beranggapan bahwa kolonialisme Belanda di Indonesia memiliki misi khusus, yang mereka sebutkan sebagai “misi suci” yaitu untuk :

  1. men-civilized-kan orang-orang Indonesia yang masih primitif;
  2. memberi kemakmuran kepada orang-orang Indonesia yang masih terbelakang,
  3. mempersatukan orang-orang Indonesia yang selalu berkelahi antar mereka,
  4. memberi pendidikan dan kemajuan rakyat Indonesia, dan
  5. kedatangan VOC ke Indonesia semata-mata untuk berdagang saja.

E. Alur waktu keberadaan VOC di Indonesia

  • Abad ke-17

Maret 1602 - Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).

1603 - VOC telah membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di Banten namun tidak menguntungkan kerena persaingan dengan para pedagang Tionghoa dan Inggris.

Februari 1605 - Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon dengan imbalan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu.

1602 - Sir James Lancaster kembali ditunjuk memimpin pelayaran yang armada berisi orang-orang The East India Company dan tiba di Aceh untuk selanjutnya menuju Banten.

1604 - Pelayaran yang ke-2 maskapai Inggris yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton, maskapai ini berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah yang mereka kunjungi ini mendapat perlawanan yang keras dari VOC[5].

1609 - VOC membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan namun niat tersebut dihalangi oleh raja Gowa. Raja Gowa tersebut melakukan kerjasama dengan pedagang-pedagang Inggris, Prancis, Denmark, Spanyol dan Portugis.

1610 - Ambon dijadikan pusat VOC, dipimpin seorang-gubernur jendral. Tetapi selama 3 orang gubernur-jendral, Ambon tidak begitu memuaskan untuk dijadikan markas besar karena jauh dari jalur-jalur utama perdagangan Asia.

1611 - Inggris berhasil mendirikan kantor dagangnya di bagian Indonesia lainnya, di Sukadana (Kalimantan barat daya), Makassar, Jayakerta, Jepara, Aceh, Priaman, Jambi[6].

1618 - Des Banten mengambil keputusan untuk menghadapi Jayakarta dan VOC dengan memaksa Inggris untuk membantu, dipimpin laksamana Thomas Dale.

1619 - Ketika VOC akan menyerah pada Inggris, secara tiba-tiba muncul tentara Banten menghalangi maksud Inggris. Karena Banten tidak mau pos VOC di Batavia diisi oleh Inggris. Akibatnya Thomas Dale melarikan diri dengan kapalnya; Banten menduduki kota Batavia.

12 Mei 1619 - Pihak Belanda mengambil keputusan untuk memberi nama baru Jayakarta sebagai Batavia.

Mei 1619 - Jan Pieterszoon Coen, seorang Belanda, melakukan pelayaran ke Banten dengan 17 kapal.

30 Mei 1619 - Jan Pieterszoon Coen melakukan penyerangan terhadap Banten, memukul mundur tentara Banten. Membangun Batavia sebagai pusat militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan dan pertukaran barang-barang, karena dari Batavia mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia bagian timur, timur jauh, dari Eropa.

1619 - Jan Pieterszoon Coen ditunjuk menjadi gubernur-jendral VOC. Dia menggunakan kekerasan, untuk memperkokoh kekuasaannya dia menghancurkan semua yang merintangi. Dan menjadikan Batavia sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.

1619 - Terjadi migrasi orang Tionghoa ke Batavia. VOC menarik sebanyak mungkin pedagang Tionghoa yang ada di berbagai pelabuhan seperti Banten, Jambi, Palembang dan Malaka ke Batavia. Bahkan ada juga yang langsung datang dari Tiongkok. Di sini orang-orang Tionghoa sudah menjadi suatu bagian penting dari perekonomian di Batavia. Mereka aktif sebagai pedagang, penggiling tebu, pengusaha toko, dan tukang yang terampil.

1620 - Atas dasar pertimbangan diplomatik di Eropa VOC terpaksa bekerjasama dengan pihak Inggris dengan memperbolehkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ambon.

1620 - Dalam rangka mengatasi masalah penyeludupan di Maluku, VOC melakukan pembuangan, pengusiran bahkan pembantaian seluruh penduduk Pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan orang-orang Belanda pendatang dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak.

1623 - VOC melanggar kerjasama dengan Inggris, Belanda membunuh 12 agen perdagangan Inggris, 10 orang Inggris, 10 orang Jepang; 1 orang Portugis dipotong kepalanya.

1630 - Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perniagaan laut di Indonesia.

1637 - VOC yang telah beberapa lama di Maluku tidak mampu memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala, dan yang terpenting, cengkeh. Penyeludupan cengkeh semakin berkembang, muncul banyak komplotan-komplotan yang anti dengan VOC. Gubernur-Jendral Antonio van Diemen melancarkan serangan terhadap para penyeludup dan pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal[7].

1638 - Van Diemen kembali ke Maluku dan berusaha membuat persetujuan dengan raja Ternate dimana VOC bersedia mengakui kedaulatan raja Ternate atas Seram, Hitu serta menggaji raja sebesar 4.000 real/tahun dengan imbalan bahwa penyeludupan cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto atas Maluku. Akan tetapi persetujuan ini gagal.

1643 - Arnold de Vlaming mengambil kesempatan kekalahan Ternate dengan memaksa raja Ternate Mandarsyah ke Batavia dan menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkeh di semua wilayah kecuali Ambon atau daerah lain yang dikuasai VOC. Hal ini disebabkan pada masa itu Ambon mampu menghasilkan cengkeh melebihi kebutuhan untuk konsumsi dunia.

1656 - Seluruh penduduk Ambon yang tersisa dibuang. Semua tanaman rempah-rempah di Hoamoal dimusnahkan dan akibatnya daerah tersebut tidak didiami manusia kecuali jika ekspedisi Hongi (armada tempur) melintasi wilayah itu untuk mencari pohon-pohon cengkeh liar yang harus dimusnahkan.

1660 - Armada VOC yang terdiri dari 30 kapal menyerang Gowa, menghancurkan kapal-kapal Portugis.

Agustus-Desember 1660 - Sultan Hasanuddin, raja Gowa dipaksa menerima persetujuan perdamaian dengan VOC, namun persetujuan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan.

18 November 1667 - Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya, akan tetapi Hasanuddin kembali mengobarkan pertempuran.

April 1668 dan Juni 1669 - VOC melakukan serangan besar-besaran terhadap Goa dan setelah pertempuran ini perjanjian Bongaya benar-benar dilakukan.

1669 - Kondisi keadaan Nusantara bagian timur bertambah kacau, kehidupan ekonomi dan administrasi tidak terkendalikan lagi.

1670 - VOC telah berhasil melakukan konsolidasi kedudukannya di Indonesia Timur. Pihak Belanda masih tetap menghadapi pemberontakan-pemberontakan tetapi kekuatannya tidak begitu besar.

1670 - VOC menebangi tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi, Hoamoal tidak dihuni lagi, orang Bugis dan Makassar meninggalkan kampung halamannya. Banyak orang-orang Eropa dan sekutu-sekutu yang tewas, semata-mata guna mencapai tujuan VOC untuk memonopoli rempah-rempah.

1674 - Pulau Jawa dalam keadaan yang memprihatinkan, kelaparan merajalela, berjangkit wabah penyakit, gunung merapi meletus, gempa bumi, gerhana bulan, dan hujan yang tidak turun pada musimnya.

1680 - Di Jawa Barat, kerajaan Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami masa kejayaannya, Banten memiliki suatu armada yang dibangun menurut model Eropa. Kapal-kapalnya berlayar memakai surat jalan menyelenggarakan perdagangan yang aktif di Nusantara. Atas bantuan pihak Inggris, Denmark, Tiongkok orang-orang Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Tiongkok, Filipina dan Jepang. Banten merupakan penghasil lada yang sangat kaya.

1680 - VOC pada dasarnya hanya terbatas menguasai dataran-dataran rendah tertentu saja di Jawa. daerah pegunungan seringkali tidak berhasil dikuasai dan daerah ini dijadikan tempat persembunyian pemberontak. Tidak dapat dihindarkan lagi pemberontakan-pemberontakan mengakibatkan kesulitan dan menguras dana VOC.

1682 - Pasukan VOC dipimpin Francois Tack dan Isaac de Saint Martin berlayar menuju Banten guna menguasai perdagangan di Banten. VOC merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten. Orang-orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir. Orang-orang Inggris mengundurkan diri ke Bengkulu dan Sumatera Selatan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.

1683-1710 - VOC mengalami masalah keuangan yang sangat berat di wilayah Asia selama kurun waktu tersebut. Di antara 23 kantornya hanya tiga (Jepang, Surat dan Persia) yang mampu memberikan keuntungan; sembilan menunjukkan kerugian setiap tahun termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Banten, Cirebon dan wilayah pesisir Jawa. VOC banyak mengeluarkan biaya-biaya yang sangat tinggi akibat pemberontakan di samping pengeluaran pribadi VOC yang tidak efesien, kebejatan moral, korupsi yang merajalela. VOC juga menuntut semakin banyak kepada rakyat Jawa, yang mengakibatkan pemberontakan yang terus berlanjut dan pengeluaran VOC bertambah tinggi.

1684 - Gubernur-Jendral Speelman meninggal. Terbongkarlah korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan. Konon Speelman memerintah tanpa menghiraukan nasihat Dewan Hindia dan banyak melakukan pembayaran dengan uang VOC yang pada dasarnya tidak pernah ada untuk pekerjaan yang tidak pernah dilakukan. Selama masa kekuasaan Speelmen jumlah penjualan tekstil menurun 90%, monopoli candu tidak efektif. Speelman juga banyak melakukan penggelapan uang negara dan pada 1685 semua penunggalan Speelman disita negara.

8 Februari 1686 - Dengan tipu muslihat Surapati berhasil membunuh François Tack dalam suatu pertempuran. Tack tewas dengan dua puluh luka di tubuhnya.

1690 - Belanda berusaha membalas kekalahan yang dialami Tack tetapi gagal karena Surapati menguasai teknik-teknik militer Eropa dengan baik.

  • Abad ke-18

1702 - Jumlah kekuatan serdadu militer Belanda yang berkebangsaan Eropa hanya tinggal sedikit. Administrasi VOC kacau balau.

1706 - Surapati terbunuh di Bangil.

1721 - VOC mengumumkan apa yang dinamakan komplotan orang-orang Islam yang bermaksud melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa di Batavia dan juga orang-orang Tionghoa.

1722 - Perlakuan terhadap orang-orang Tionghoa bertambah kejam dan korup. Walaupun demikian jumlah orang Tionghoa bertambah dengan pesat. VOC melakukan sistem kuota untuk membatasi imigrasi, tetapi kapten-kapten kapal Tionghoa mampu menghindarinya dengan bantuan dari pejabat VOC yang korupsi. Kebanyakan orang-orang Tionghoa pendatang yang tidak memperoleh pekerjaan sebagian besar mereka bergabung menjadi gerombolan-gerombolan penjahat di sekitar Batavia[8].

1727 - Posisi ekonomi orang Tionghoa makin penting di satu pihak dan sering terjadinya kejahatan oleh orang Tionghoa, menimbulkan perasaan tidak senang terhadap orang Tionghoa. Rasa tidak senang menjadi semakin tebal di kalangan warga bebas, kolonis-kolonis Belanda yang tidak dapat menandingi orang Tionghoa. Timbullah kemudian rasa permusuhan dan sikap rasialis terhadap orang Tionghoa.

1727 - Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang telah tinggal 10 sampai 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Tiongkok.

1729 - Pemerintah kolonial memberikan kesempatan selama 6 bulan kepada orang Tionghoa untuk mengajukan permohonan izin tinggal di Batavia dengan membayar 2 ringgit.

1730 - Dikeluarkan larangan bagi orang Tionghoa untuk membuka tempat penginapan, tempat pemadatan candu dan warung baik di dalam maupun di luar kota[9].

1736 - Pemerintah kolonial mengadakan pendaftaran bagi semua orang Tionghoa yang tidak memiliki surat izin tinggal.

1740 - Terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa di dalam tembok Batavia sedangkan jumlah orang Tionghoa di kota dan daerah sekitarnya diperkirakan 15.000 jiwa. Jumlah ini setidak-tidaknya merupakan 17% dari keseluruhan penduduk di daerah terebut. Ada kemungkinan bahwa orang-orang Tionghoa sebenarnya merupakan unsur penduduk yang lebih besar jumlahnya. Ada pula orang-orang Tionghoa di kota-kota pelabuhan Jawa dan Kartasura walaupun jumlahnya hanya sedikit.

1740 - Terjadi penangkapan terhadap orang Tionghoa, tidak kurang 1.000 orang Tionghoa dipenjarakan. Orang Tionghoa menjadi gelisah lebih-lebih setelah sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan perampasan hak milik Tionghoa.

4 Februari 1740 - Segerombolan orang Tionghoa melakukan pemberontakan dan penyerbuan pos penjagaan untuk membebaskan bangsanya yang ditahan.

Juni 1740 - Kompeni Belanda mengeluarkan lagi peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal akan ditangkapdan diangkut ke Sailan. Peraturan ini dilaksanakan dengan sewenang-wenang.

September 1740 - Tersiar berita bahwa segerombolan orang Tionghoa di daerah pedesaan sekitar Batavia bergerak mendekati pintu gerbang Batavia. Mr. Cornelis di Tangerang dan de Qual di Bekasi, memerintahkan memperkuat pos-pos penjagaan.

7 Oktober 1740 - Pasukan bantuan yang dikirim ke Tangerang oleh pemerintah kolonial diserang oleh gerombolan Tionghoa, sebagian besar dari pasukan tersebut tewas.

Oktober 1740 - Berdasarkan bukti yang didapatkan VOC menarik kesimpulan bahwa orang-orang Tionghoa sedang merencanakan sebuah pemberontakan.

8 Oktober 1740 - Kompeni Belanda mengeluarkan maklumat, antara lain perintah menyerahkan senjata kepada kompeni. Jam malam diadakan.

9 Oktober 1740 - Dimulainya pembunuhan terhadap orang Tionghoa secara besar-besaran. Yang banyak melakukan pembunuhan ini adalah orang-orang Eropa dan para budak. Dan pada akhirnya ada sekitar 10.000 orang Tionghoa yang tewas. Perkampungan orang Tionghoa dibakar selama beberapa hari. Kekerasan ini berhenti setelah orang Tionghoa memberikan uang premi kepada serdadu-serdadu VOC guna melakukan tugasnya yang rutin.

10 Oktober 1740 - Pertahanan kompeni Belanda di Tangerang diserang oleh sekitar 3.000 orang pemberontak Tionghoa.

Mei 1741 - Orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke arah timur menyusur sepanjang daerah pesisir. Mereka melakukan perebutan pos di Juwana. Markas besar VOC dikepung dan pos-pos lainnya terancam.

Juli 1741 - Pos VOC di Rembang dihancurkan oleh orang-orang Tionghoa yang membantai seluruh personel VOC.

Juli 1741 - Prajurit raja yang berada di Kartasura menyerang pos garnisun VOC. Komandan VOC Kapten Johannes van Velsen dan beberapa serdadu lainnya tewas. Serdadu yang selamat ditawari pilihan beralih ke agama Islam atau mati dan banyak yang memilih pindah agama.

November 1741 - Pakubuwana II mengirim pasukan artileri ke Semarang. Pasukan prajurit-prajurit tersebut bersatu dengan orang Tionghoa melakukan pengepungan terhadap pos VOC. Pos VOC di Semarang ini dikepung oleh kira-kira 20.000 orang Jawa dan 3.500 orang Tionghoa dengan 30 pucuk meriam. Orang Jawa dan Tionghoa bersatu melawan kompeni Belanda.

Desember 1741-awal 1742 - VOC merebut kembali daerah-daerah lain yang terancam serangan.

13 Februari 1755 - VOC menandatangani Perjanjian Giyanti. Isinya VOC mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I, penguasa separuh wilayah Jawa Tengah.

September 1789 - Belanda mendengar desas-desus bahwa raja Jawa akan melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa, sehingga mengutus seorang residen yang bernama Andries Hartsick dengan memakai pakaian Jawa menghadiri pertemuan rahasia di Istana Jawa.

1 Januari 1800 - VOC secara resmi dibubarkan, didirikan Dewan untuk urusan jajahan Asia. Belanda kalah perang dan dikuasai Perancis. Wilayah-wilayah yang dimiliki Belanda menjadi milik Perancis[10].

F. Peta Jajahan Belanda

Peta Jajahan Belanda secara keseluruhan. Kawasan di bawah kuasa VOC adalah berwarna hijau muda, termasuk Pulau St. Helena di Lautan Atlantik



[1] Kartodirjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid 1. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1995. Hal. 57

[2] Ibid. Hal. 60

[3] Kartodirjo, Sartono, dkk. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : PT Grafitas. 1975. Hal. 79

[4] Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta : Depdikbud. 1982. Hal. 85.

[5] Nugroho Noto Susanto. Sejarah Nasional Indonesia jilid II. Bandung : Masa Baru. 1979. Hal. 65

[6] M.C.Ricklefs. Cetakan lima. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University. 1995. Hal. 94

[7] Prof.Dr.D.H.Burger. Indonesia antara tahun 1500-1800. Jakarta : Pradnjaparamita. 1962. Hal 142.

[8] Ibid. Hal. 153

[9] _______________. Perdjuangan Feodal. Bandung 1962. Hal. 76.

[10] M.C.Ricklefs. Op.Cit. Hal. 137.